أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ
اللَّهُ الْخَلْقَ
ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (19) قُلْ
سِيرُوا
فِي الْأَرْضِ
فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ
ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآَخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali)”.
“Sesungguhnya.yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. 29: 99) Katakanlah
: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya.Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS 29: 20”).
Dari ayat tersebut di atas (al-Ankabut: 20) memerintahkan untuk:
1. Melakukan perjalanan, dengannya seseorang akan menemukan banyak pelajaran berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam, maupun dari peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.
2. Melakukan pembelajaran, penelitian, dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan akalnya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Besar
2. Surat al-‘Alaq (ayat 1-5)
“Sesungguhnya.yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. 29: 99) Katakanlah
: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya.Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS 29: 20”).
Dari ayat tersebut di atas (al-Ankabut: 20) memerintahkan untuk:
1. Melakukan perjalanan, dengannya seseorang akan menemukan banyak pelajaran berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam, maupun dari peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.
2. Melakukan pembelajaran, penelitian, dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan akalnya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Besar
2. Surat al-‘Alaq (ayat 1-5)
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Kaitan
dengan pendidikan:
1. Iqra` bisa berarti membaca atau mengkaji. sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika
2. Kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma
1. Paradagima sekuler: paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Eksistensi agama tidak dinafikan hanya dibatasi perannya.
2. Paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus,tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek.
3. Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan.
1. Iqra` bisa berarti membaca atau mengkaji. sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika
2. Kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma
1. Paradagima sekuler: paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Eksistensi agama tidak dinafikan hanya dibatasi perannya.
2. Paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus,tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek.
3. Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan.
Surat Al-Luqman ayat 13-19
Bismillahirrohmanirrohim~
[Ayat 13] Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
wakttu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.”
[Ayat 14] Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan
kepada kedua dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.
[Ayat 15] Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu,
maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
[Ayat 16] (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
[Ayat 17] Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
[Ayat 18] Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
[Ayat 19] Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Nilai berdasarkan arti denotatifnya dapat
dimaknai sebagai harga. Namun ketika nilai dihubungkan dengan suatu objek atau
sudut pandang tertentu, harga yang terkandung didalamnya memiliki pemaknaan
yang bermacam-macam. Dalam kaitan dengan nilai pendidikan, maka mengandung arti
konsep pendidikan menjadi bahan utama dalam pertimbangan nilai. Dengan demikian
nilai pendidikan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah sesuatu yang
berharga yang memiliki kaitan dan mendukung pemikiran dan pelaksanaan
pendidikan khususnya dalam surah Luqman ayat 12-19.
Berdasarkan susunan mushaf utsman surah Luqman
merupakan surah ke 31, terdiri dari 34 ayat, termasuk golongan surah-surah
Makiyyah, dan diturunkan sesudah surah Ash-Shaffaat. Dinamai surah “Luqman”
karena pada ayat 12 disebutkan bahwa “Luqman” telah diberi oleh Allah
hikmah, oleh sebab itu dia bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang diberikan itu.
Dan pada ayat 13 sampai 19 terdapat nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya.
Al-Alamah Abi Fadl Syihabuddin Al-Alusi dalam
kitab “Ruhul Ma’aani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani” (Beirut,
1999: 88) menyebutkan:“Dinamakan surah Luqman karena di dalamnya
memuat kisah pengajaran Luqman kepada anaknya. Sebab turunnya surah ini adalah
seorang Quraisy bertanya mengenai kisah Luqman beserta anak lelakinya serta
tentang bakti kepada kedua orang tuanya, maka turunlah surah ini.”
Aspek personal Luqman Jika dilihat dalam
perspektif pendidikan yaitu bahwa kualitas manusia tidak dipandang dari sudut
keturunan atau ras. Figur Luqman sebagai seorang pendidik memiliki kelebihan
dalam kualitas kepribadiannya bukan kelebihan dalam bentuk kepemilikan berupa
material maupun keturunan. Kelebihan dalam konteks ini yaitu hikmah. Luqman
dipandang sebagai figur pendidik yang memiliki sifat dan perilaku yang
menggambarkan hikmah. Dalam tafsir Ath-Thabari (Kairo, 2005: 6553-6555) hikmah
diartikan sebagai pemahaman dalam agama, kekuatan berfikir, ketepatan dalam
berbicara, dan pemahaman dalam Islam meskipun ia bukan nabi dan tidak
diwahyukan kepadanya.
Implikasi dari makna hikmah bagi figur pendidik
adalah bahwa seorang pendidik selain senantiasa berusaha meningkatkan kemampuan
akademiknya, ia pun berupaya menselaraskan dengan amalannya. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam
kitabul ‘ilmi bab Al-Igtibat fil ‘ilmi wal hihmah (Ibnu Hajar
Al-‘Asqolani dalam kitab Fathul Bari, 1997: 219) ketika menjelaskan bolehnya
hasad, salah satunya kepada seseorang yang Allah berikan hikmah lalu ia amalkan
dan ajarkan kepada orang lain. Kemudian pada surah Luqman ayat 12 terdapat pula
kata “syukur”. Konsep syukur dalam ayat ini, menyiratkan pemahaman pendidik
terhadap dirinya sendiri yang menjadi bagian dari nilai pendidikan, yaitu
sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik. Saifudin Aman
dalam bukunya yang berjudul: “8 Pesan Luqman Al-Hakim” (Jakarta, 2008: 80)
menjelaskan bahwa makna syukur berarti meningkatkan seluruh potensi yang
diberikan oleh Allah baik fisik, mental maupun spiritual. Adapun bentuknya,
yaitu: Pertama, dengan mengucapkan Alhamdulillah. Kedua, dengan merasakan dan
menikmati dengan segenap jiwa dan raga. Ketiga, menjadikannya sebagai pemicu
untuk meningkatkan kualitas hidup, ibadah, amal baik dan prestasi.
Dalam ayat 13, Allah mengabarkan tentang wasiat
Luqman kepada anaknya, yaitu Luqman bin ‘Anqa bin Sadun, dan nama anaknya
Tsaran, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Suhaili dalam tafsir Ibnu Katsir
(Kairo, 2000: 53) agar anaknya tersebut hanya menyembah Allah semata dan
tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Ungkapan “la tusyrik billah”
dalam ayat ini, memberi makna bahwa ketauhidan merupakan materi pendidikan
terpenting yang harus ditanamkan pendidik kepada anak didiknya karena hal
tersebut merupakan sumber petunjuk ilahi yang akan melahirkan rasa aman.
Sebagaimana firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS
Al-An’am: 82). Penyampaian materi pendidikan dalam ayat ini, diawali dengan
penggunaan kata “Ya bunayya” (wahai anakku) merupakan bentuk tashgir
(diminutif) dalam arti belas kasih dan rasa cinta, bukan bentuk diminutif
penghinaan atau pengecilan (Al-Alusi, 1999: 114). Itu artinya bahwa pendidikan
harus berlandaskan aqidah dan komunikasi efektif antara pendidik dan anak didik
yang didorong oleh rasa kasih sayang serta direalisasikan dalam pemberian
bimbingan dan arahan agar anak didiknya terhindar dari perbuatan yang dilarang.
Oleh karena itu, Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulumuddin” (Al-Manshurah,
1996: 85) menyebutkan bahwa salah satu diantara tugas pendidik ialah menyayangi
anak didiknya sebagaimana seorang ayah menyayangi anaknya, bahkan lebih. Dan
selalu menasehati serta mencegah anak didiknya agar terhindar dari akhlak
tercela.
Dari segi anak didik, ungkapan “la tusyrik
billah innassyirka lazhulmun azhim” (janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar) mengandung arti bahwa sesuatu yang tidak boleh dilakukan
oleh anak didik tidak hanya sebatas larangan, tetapi juga diberi argumentasi
yang jelas mengapa perbuatan itu dilarang. Anak didik diajak berdialog dengan
menggunakan potensi pikirnya agar potensi itu dapat berkembang dengan baik.
Komunikasi efektif antara Luqman dan anaknya mengisyaratkan bahwa hendaknya
seorang pendidik menempatkan anak didiknya sebagai objek yang memiliki potensi
fikir.
Dari segi lain, ungkapan “Janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kedzaliman yang besar” menimbulkan rasa kehati-hatian di diri anak
didik dalam melakukan kewajiban kepada Allah serta usaha untuk
menghindar dari persoalan yang dilarang, sehingga dengan demikian materi
pendidikan lebih mudah diterima anak didik.
Adapun makna yang dapat diungkap dalam ayat 14
adalah bahwa pendidikan Luqman tidak terbatas pada pendidikan yang dilakukan
orang tua kepada anaknya dalam keluarga, karena ayat yang berisi pesan berbuat
baik kepada kedua orang tua ini diletakkan di tengah-tengah konteks pembicaraan
peristiwa Luqman. Dengan demikian, wasiat Luqman kepada anaknya menjadi dasar
bagi pendidikan pada umumnya baik dalam keluarga maupun yang lainnya, yaitu
antara lain upaya mendidik anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya.
Dalam ayat 14 ini materi berbuat baik kepada
kedua orang tua disampaikan melalui anjuran untuk menghayati penderitaan dan
susah payah ibunya selama mengandung. Metode seperti ini merupakan cara memberi
pengaruh dengan menggugah emosi anak didik, sehingga berdampak kuat terhadap
perubahan sikap dan perilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Dalam ayat 14 dapat diungkap pula makna tujuan
manusia yang terangkum dalam kalimat “ilayyal mashir”, yaitu kembali
kepada kebenaran hakiki dimana sumber kebenaran itu sendiri adalah Allah
semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah
penyerahan diri secara total kepada Allah.
Sedang nilai pendidikan yang tersirat dalam ayat
15 adalah bahwa peran orang tua tua tidaklah segalanya, melainkan terbatas
dengan peraturan dan norma-norma ilahi, berdasarkan firman Allah: “Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..”. Implikasi
pemaknaan tersebut terhadap peran pendidik adalah bahwa pendidik tidak
mendominasi secara mutlak kepada tingkah laku anak didik, tetapi anak didik
didorong untuk aktif mengembangkan kemampuan berfikirnya untuk menyelidiki
nilai yang diberikan berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya yang
berlandaskan kepada nilai-nilai ilahiyah.
Dalam ayat 16 tersirat tujuan pendidikan, yaitu
pengarahan kepada perilaku manusia untuk meyakini bahwa tidak ada sesuatu yang
sia-sia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wasiat Luqman dalam ayat ini dimaksudkan
untuk mengusik perasaan anaknya agar tumbuh keyakinan akan kekuasaan Allah yang
tidak terbatas. Jika keyakinan ini tumbuh, maka akan lahir pula sikap-sikap dan
perbuatan baik, sesuai dengan keyakinan akan keMahatahuan Allah yang telah
tertanam dalam dirinya.
Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsir Al-Jami’
li Ahkaamil Qur’an (Kairo, 1994: 68): “Makna ayat ini yaitu bahwa
Allah menghendaki amal-amal perbuatan, baik itu perilaku maksiat maupun
perilaku ketaatan. Maksudnya: Jika amal itu adalah amal baik atau amal itu
adalah amal buruk, meski itu seberat biji sawi, niscya Allah akan
mendatangkannya. Yakni bahwa seorang manusia tidak akan kehilangan sesuatu yang
telah ditakdirkan padanya.”
Dalam ayat ini pula terkandung komunikasi
pendidikan melalui penghayatan yang melibatkan lingkungan untuk memperoleh
penguatan yang lebih mendalam, tidak hanya sebatas pengetahuan. Hal ini tampak
dalam ungkapan “mitsqala habbatin min khardalin” (seberat biji sawi).
Kata-kata “habbatin min khardalin” merupakan upaya komunikasi melalui
kata-kata yang mendekatkan makna nilai yang dididiknya dengan pengalaman yang
telah dimiliki anak didik.
Pengungkapan materi pendidikan dalam ayat ini
dilakukan melalui perumpamaan yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman anak
didik mengenai suatu konsep yang abstrak dengan cara mengambil sesuatu yang
telah diketahuinya sebagai bandingan, sehingga sesuatu yang baru itu dapat
dipahami karena terkait dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya
(apersepsi). Kata-kata “di dalam batu”, “di langit”, atau “di perut bumi”
merupakan ungkapan-ungkapan yang dikenal dan dipersepsi keadaannya oleh anak
didik sebagai sesuatu yang tidak mungkin diketahuinya, karena keadaannya yang
jauh, dalam dan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia. Dalam tempat dan
keadaan seperti itu, sebuah biji sawi yang kecil diketahui oleh Allah.
Dalam ayat 17 terdapat materi pendidikan berupa
shalat, yaitu bentuk ibadah ritual yang wajib dilakukan oleh setiap muslim
dengan cara dan waktu yang telah ditentukan, materi amar ma’ruf nahyi
munkar, yaitu kewajiban setiap muslim untuk mengajak orang lain berbuat
kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkarmerekalah orang-orang yang beruntung.” (QS
Ali-Imran: 104) dan materi sabar, yaitu menerima dengan lapang dada hal-hal
yang menyakitkan dan menyusahkan serta menahan amarah atas perlakuan kasar.
Dalam Ayat 18 Luqman mengatakan: “Jangan kamu
palingkan wajahmu dari manusia ketika berbicara kepada mereka atau mereka
berbicara denganmu karena merendahkan mereka dan sombong kepada mereka. Akan
tetapi berlemah lembutlah kamu, dan tampakkan keramahan wajahmu pada mereka
(Sebagaiman dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’nul ‘Adzim, Kairo, 2000:
56). Ini menunjukan etika berinteraksi dengan lingkungan masyarakat yang lebih
luas. Sopan dan rendah hati dapat dipandang sebagai materi yang sangat penting
untuk diajarkan sebagai bekal bersosialisasi.
Allah Ta’ala berfirman:“Dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi
gunung.” (QS. Al-Isra: 37)
Allah berfirman: “Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.” Nilai pendidikan yang terdapat dalam ayat ini berkaitan dengan
metode pendidikan, yaitu menyampaikan komunikasi melalui pemisalan. Tamtsil
yang dimaksud adalah keledai dengan sifat yang melekat dalam dirinya yang
digunakan untuk mengumpamakan orang yang bersuara keras. Sedangkan tujuan yang
tersirat di dalamnya adalah agar terdidik tidak berbuat sombong, tetapi dapat
berkata dan berperilaku lemah lembut dan sopan.
Selain itu, dalam ayat ini binatang (keledai)
digunakan sebagai alat pendidikan. Penggunaaan alat pendidikan yang diambil
dari lingkungan yang akrab dengan anak didik mengandung makna dan nilai
paedagogis yang dalam, karena komunikasi pendidikan yang ditunjang oleh alat
pendidikan akan memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif, yaitu
anak didik dapat mencerap makna didikan secara utuh, karena alat yang
digunakan telah dikenal secara akrab oleh terdidik. Dengan demikian materi
pendidikan dapat disampaikan dengan baik yang dalam konteks ayat ini adalah
adab kesopanan. Wallahua’lam (oleh : Gyan Puspa Lestari,
Program S2 – PKU, Dewan Da’wah – UPI)
Terjemahan dan tafsir surat Al-alaq 1-5
Surat al-alaq 1-5 adalah ayat yang pertama kali diturunkan oleh allah swt. Ayat ini mengandung banyak sekali hikmah yang dapat kita maknai guna mencapai kebahagian hidup yang seimbang.Terjemahanya dan tafsiranya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepada beliau atas nama allah, tuhan yang telah menciptakan. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah. Yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma menjadi segumpal darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40 hari akan menjadi segumpal daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu adalah maha mulia” (ayat 3). Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan nama allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh membaca diatas nama tuhan. Sedang nama tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah allah yang maha mulia, maha dermawan, maha kasih dan saying kepada mahluknya. “Dia yang mengajarkan dengan kalam” (ayat 4). Itulah istimewanya tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi.Yaitu diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia, diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan allah yaitu dengan qalam. Dengan pena disamping lidah untuk membaca, tuhanpun mentaksirkan pula bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat. Pena itu kaku dan beku serta tidak hidup namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahami oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu” (Ayat 5). Terlebih dahulu allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.
(sumber : Tafsir Al-Azhar jilid 10 halaman 8059-8060 karangan Prof.DR. Hamka)
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ& وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ& يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأِرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ& يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ &وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ& وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ[
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Kami memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya; pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Luqman berkata, “Anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allah Mahalalus lagi Mahatahu. Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munggkar, serta bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS Luqman [31]: 13-19).
Tafsir Ayat
Rangkaian beberapa ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik (ayat 13). Imam ash Shobuni1 menafsirkan lâ tusyrik billâh dengan menyatakan, “Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apa pun, apakah itu manusia, patung, ataupun anak.” Beliau menafsirkan inna asy-syirka lazhulm[un] ‘azhîm dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.”
Sementara itu, Ibn Abbas2 menafsirkan lazhulm[un] ‘azhîm sebagai dosa besar yang kelak akan mendapatkan sanksi dari Allah.
Dua ayat berikutnya (14 dan 15) menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pemeliharaan keduanya, terutama ibu. Dia telah mengandungnya sejak janin di dalam kandungan; setiap bertambah usia dan besar janin, semakin bertambah lemahlah dia dan semakin bertambah sulit pula (untuk bergerak). Demikian pula ketika melahirkan, seorang ibu dengan susah-payah mengeluarkan bayinya dari rahimnya. Setelah itu, ibu menyusui bayinya selama dua tahun. Ibn Jaza3 menafsirkan:
Ungkapan hamalathu ummuhu wahn[an] ‘alâ wahnin wa fishâluhu fî ‘âmayni adalah untuk menjelaskan bahwa hak ibu lebih besar daripada bapak. Akan tetapi, rasa syukur kepada Allah harus di atas segalanya. Sebab, kepada-Nya- lah tempat kembali seseorang, termasuk kedua orangtuanya. Allah-lah yang memberi balasan yang baik kepada orang yang berbuat baik dan balasan yang buruk kepada orang yang berbuat buruk. Karena itu, sekalipun keduanya telah bersusah-payah memeliharamu, kalau mereka mengajakmu pada kekufuran dan perbuatan syirik, janganlah kamu mengikutinya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Hanya saja, sekalipun demikian, engkau tetap menggauli mereka dengan baik serta senantiasa berlaku sopan dan hormat kepada mereka.
Yang harus diikuti adalah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku dengan iman (tauhid), taat, dan amal shalih. Tempat kembali semua makhluk adalah Allah. Allahlah yang membalas segala perbuatan hamba-Nya. Kemudian, di akhir ayat dijelaskan tentang keluasan dan kelengkapan ilmu Allah sehingga Dia mengetahui apa saja yang telah dilakukan hamba-Nya. Penggambaran yang demikian membangkitkan wijdan (naluri beragama) yang ada pada diri manusia.
Ayat berikutnya (16, 17, 18, dan 19) kembali mengungkapkan nasihat Luqman kepada putranya. Luqman mengajarkan kepada putranya bahwa jika ada perbuatan (dosa dan maksiat) walau seberat dan sekecil biji sawi pun dan berada di tempat yang tersembunyi—di dalam batu, di langit, atau di bumi—kelak Allah akan mendatangkan balasannya pada Hari Kiamat. Sebab, Allah Mahahalus dan Mahatahu. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, bagaimanapun kecilnya, sehingga seekor semut yang melata di malam yang gelap-gulita pun tidak akan luput dari pengetahuan-Nya.4
Selanjutnya, Luqman mengajarkan kepada putranya tentang kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah. Kewajiban pertama: mendirikan shalat. Ibnu Katsir5 menafsirkan aqim ash- shalah dengan melaksanakannya tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat, dan rukun-rukunnya. Sedangkan ash-Shabuni menambahkan, yaitu dengan memelihara kekhusyukannya. Kewajiban kedua: amar makruf nahi mungkar, yakni memerintahkan kepada manusia untuk melakukan setiap kebaikan dan keutamaan serta melarang mereka dari setiap perbuatan buruk. Kewajiban ketiga: bersabar, yakni bersabar terhadap gangguan, rintangan, ujian, bahaya, dan bencana yang menimpa karena menjalankan amar makruf nahi mungkar. Ibn Abbas berkata, “Di antara hakakat iman adalah bersabar.”
Setelah pelaksanaan kewajiban, pengajaran Luqman yang berikutnya berupa larangan berakhlak buruk, yakni larangan berpaling dari manusia karena sombong dan menganggap rendah yang lain, serta larangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Tentang sifat sombong yang tercela tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 37:
]وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولاً[
Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan dapat sampai setinggi gunung.(QS al-Isra’ [17]: 37).
Pengajaran selanjutnya adalah perintah berakhlak baik, yakni sederhana dalam berjalan; tidak terlampau cepat dan terburu-buru; tidak juga terlampau lambat dan bermalas-malasan; kemudian melunakkan suara (bila berbicara), tidak berteriak-teriak tanpa ada perlu, karena seburuk-buruk suara adalah suara kedelai. Al-Hasan6 berkata, “Dulu orang-orang musyrik membanggakan dirinya dengan bersuara tinggi.”
Qatadah7 berkata, “Seburuk-buruk suara adalah suara kedelai.”
Ibrah
Pelajaran yang bisa diambil dari rangkaian ayat di atas mencakup dua hal. Pertama, pelajaran bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Kedua, pelajaran kepada seorang anak dalam berbakti kepada orangtua.
Pelajaran bagi orang tua.
Pelajaran awal dan dasar yang harus ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya adalah akidah. Di antaranya, pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun, karena perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan merupakan tindak kezaliman yang nyata, bahkan termasuk dosa besar yang kelak pelakunya akan di azab oleh Allah pada Hari Kiamat. Hal ini seiring dengan sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.8
Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh) merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak dan kalimat pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan anjuran azan di telinga kanan anak dan iqamah di telinga kirinya sesaat setelah kelahirannya di dunia ini.
Upaya menanamkan kalimat tauhid kepada anak dapat ditempuh dengan berbagai cara dan wasilah. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis yang terkait dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan berbagai jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi saat ini; selanjutnya menceritakan berbagai azab yang ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu akibat perbuatan syirik mereka.
Penggunaan cara dan wasilah hendaknya disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Hendaknya memilih cara yang memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak diberikan serta memilih wasilah yang disukai anak-anak agar mereka tidak merasa terpaksa menerima suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu, pembelajaran akidah tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak merasa dibebani sesuatu. Contohnya adalah dengan cara memperdengarkan nyanyian yang di dalamnya terkandung pemahaman tauhid, membacakan ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. yang menjelaskan pemahaman tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama melafalkannya bila anak sudah mampu berbicara. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan saja; pada saat anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan demikian, para orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman tauhid ini di sepanjang hari-hari dan aktivitas anak.
Pemahaman akidah berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kita. Rasa syukur kepada Allah harus didahulukan dari rasa syukur kepada manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan, rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah. Sebab, tempat kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.
Upaya menancapkan rasa syukur kepada Allah bisa dilakukan dengan mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Allah yang diperoleh si anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang paling sederhana dan mudah diamati sampai hal-hal yang membutuhkan pengamatan cermat.
Selanjutnya adalah menanamkan pemahaman tentang sifat-sifat Allah. Di antaranya Allah Mahakaya, Maha Terpuji, Mahatahu, dan Mahahalus; juga sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam Asmâ’ al-Husnâ. Keyakinan terhadap sifat-sifat Allah akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk menaati segala perintah Allah.
Kekuatan akidah merupakan landasan untuk menaati semua perintah Allah berupa taklif hukum yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak. Dalam hal ini, harus ada penyesuaian bahasa (yang bisa dimengerti) anak, daya pikir (yang bisa dijangkau) anak, serta usia anak.
Gambaran ideal sosok seorang anak yang sangat taat kepada Allah adalah Nabi Ismail. Beliau di usia kira-kira 13 tahun9 rela disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) ketika ayahnya mengatakan bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 102. Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya juga memberikan gambaran kepada kita tentang keinginan yang kuat dari seorang ayah untuk memiliki seorang anak yang shalih sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak yang shalih. Hal ini termaktub dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 100.
Setelah penanaman akidah, pembelajaran berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah pelaksanaan berbagai taklif hukum. Di antaranya adalah shalat dan amar makruf nahi mungkar. Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak adalah kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah harus diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau sampai usia 10 tahun anak masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua untuk memukulnya. Al-Hakim dan Abu Dawud menuturkan riwayat dari Ibn Amr bin al -‘Ash. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia (jika tidak mau melaksanakannya) jika melewati usia sepuluh tahun. (HR ad-Darimi).
Perintah shalat ini dapat kita samakan dengan pelaksanaan kewajiban lain yang mampu dilaksanakan oleh anak seperti shaum, menutup aurat, amar makruf nahi mungkar, dan lain-lain; termasuk pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus sudah terpisah pada saat usia mereka sepuluh tahun.
Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim sejak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan kewajiban-kewajibannya pada saat usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal ini berarti masa pembiasaan anak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, selama 3 tahun, sejak usia tujuh tahun sampai 10 tahun. Sedangkan usia 10 tahun sampai menjelang balig bisa dikatakan masa pemantapan, karena si anak tidak boleh lagi meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, seorang anak sudah dipersiapkan sejak awal agar pada usia balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Allah kepadanya.
Pembelajaran selanjutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah akhlak mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi kepribadian anak. Di antaranya sabar (atas segala ujian dan cobaan), tidak berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak bersikap angkuh, sederhana dalam berjalan, dan lunak dalam bersuara.
Penanaman sifat-sifat mulia ini tidak akan sulit bila seiring dengan proses anak dalam melatih ketaatannya terhadap perintah Allah, yakni melalui pembiasaan anak menjalankan berbagai perintah Allah yang menjadi kewajibannya kelak. Sebab, sifat-sifat mulia tersebut merupakan buah dari pelaksanaan syariat Allah.
Ada satu hal yang sangat penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan berbagai kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, yakni keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang saat ini jarang dan sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si anak melihat sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman yang sedang ditanamkan kepadanya dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal, sudah merupakan tabiat manusia membutuhkan teladan, karena manusia lebih mudah menerima dan memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang didengarnya. Karena itulah, kepada manusia diturunkan seorang Rasul di setiap generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk mengajarkan dan mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.
Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan si anak agar proses pembelajarannya bisa berjalan efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya lingkungan rumah, merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang dibangun, karena ini sangat berbahaya bagi perkembangan si anak untuk berproses menjadi anak yang shalih.
Apabila para orangtua dan para pendidik di era sekarang mendidik anak sejak awal dengan mengikuti proses seperti yang diuraikan di atas, tidak mustahil akan terwujud generasi baru seperti Nabi Ismail, yakni generasi yang taat kepada Allah; generasi yang rela mengorbankan nyawanya dalam rangka menjalankan perintah Allah. Bila generasi muda kaum Muslim berkualitas seperti ini, kemenangan dan kejayaan Islam, insya Allah, akan berada dalam genggaman.
Pelajaran bagi Anak
Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam memelihara dan mengasuh si anak sejak dalam kandungan. Demikian pula pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu. Karena itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus berbuat baik kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh menaati keduanya dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1) Shafwah at-Tafâsîr, jld. II, hlm. 451.
2) Tafsîr Ibn Abbas, hlm. 344.
3) At-Tashîl, jld. III, hlm. 126
4) Tafsîr Ibn Katsîr (terj.), jld. VI, hlm. 258.
5) Ibid.
6) Shafwah at-Tafâsîr, jld. II, hlm. 453
7) Ibid.
8) Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, jld. I, hlm. 152
9) Shafwah at-Tafâsîr, jld. III, hlm. 36.
0 komentar:
Posting Komentar