Kisah Abu Wail Syaqiq bin Salamah Rah.a
(Tabi'in)
“Aku
tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga di selain
shalat.” (Ashim)
Mari kita mulai kisah kehidupan imam ini. Kisah tentang hidayah seorang tokoh. Kita persilahkan Sulaiman bin Mihran memulainya. Syaqiq berkata, “Wahai Sulaiman! Bayangkan kita melarikan diri dari Khalid bin Walid, dan aku terjatuh dari hewan tungganganku yang bisa menginjak leherku. Kalau aku mati saat itu, maka nerakalah bagiku.”
Mari kita mulai kisah kehidupan imam ini. Kisah tentang hidayah seorang tokoh. Kita persilahkan Sulaiman bin Mihran memulainya. Syaqiq berkata, “Wahai Sulaiman! Bayangkan kita melarikan diri dari Khalid bin Walid, dan aku terjatuh dari hewan tungganganku yang bisa menginjak leherku. Kalau aku mati saat itu, maka nerakalah bagiku.”
Peristiwa
itu terjadi pada saat kaum muslimin memerangi orang-orang murtad di masa
pemerintaha Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu, Allah memberikannya hidayah untuk
masuk islam.
Dialah Abu Wail Syaqiq bin Salamah al-Asadi al-Kufi, imam besar Dan syaikh kota kufah. Dia lahir dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tak sempat bertemu dengan beliau. Menurut Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, Abu Wail lahir pada tahun pertama hijriyah.
Namun demikian Abu Wail sempat meraih kemilauan para sahabat Nabi. Tercatat, ia sempat bertemu dengan Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Aisyah, Ummu Salamah, dan lainnya.
Abu wail mencapai derajat orang-orang shalih. Dialah murid Abdullah bin Mas’ud. Setiap kali melihat Abu Wail, Abdullah bin Mas’ud selalu berseru, “Wahai orang yang bertaubat!”
Beginilah murid Ibnu Mas’ud menjadi pemimpin ahli ilmu dan amal. Kenapa tidak? Dia mengambil langsung ilmu dan amal dari orang yang yang lulus dari madrasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah orang-orang yang selalu menyertai Ibni Mas’ud, baik di malam hari, siang, di rumah, dalam perjalanan, di masjid dan dimana saja.
Perhatikanlah bagaimana Ibnu Mas’ud mendidik murid-muridnya. Suatu ketika, ia berpesan dengan Abu Wail yang sedang membawa mushaf berhias emas. Ibnu Mas’ud berkata “Sungguh yang paling baik untuk menghias al-Qur’an adalah membacanya dengan benar.”
Dalam tempaan inilah Abu Wail Tumbuh. Ibrahim an-Nakha’i pernah menasehati al-A’masy untuk selalu menyertai orang-orang shalih. “Sertailah Syaqiq. Sungguh aku mendapat murid Ibnu Mas’ud sebagai orang yang kaya ilmu. Mereka tergolong orang-orang pilihan,” ujar Ibrahim an-Nakha’i.
Betapa indahnya mendapatkan kesaksian dari seorang ahli fiqh Kufah seperti Ibrahim an-Nakha’i. Perhatikanlah kesaksian Ibrahim an-Nakha’i pada kesempatan lain. “Tidak ada sebuah desa kecuali di dalamnya ada orang yang membela penduduknya. Aku berharap Abu Wail termasuk diantara mereka.”
Posisi ini tidak didapat kecuali dengan usaha maksimim yang panjang melawan godaan hawa nafsu dan syetan serta berusaha untuk taat. Ashim menggabarka shalat dan keshalihan Abu Wail dalam ungkapannya, “Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga diselain shalat.”
Ashim pernah mendengar Abu Wail berdoa saat sujud. Diantara doanya adalah, “Tuhan, ampunilah aku! Tuhan maafkanlah aku! Jika engkau memaafkanku, maka panjangkanlah keutamaanmu. Jika engkau mengazabku, bukan oleh orang yang zalim padaku.”
Ashim berkata, “Kemudian ia menangis sampai kedengaran dari luar masjid.”
Abu Wail termasuk orang yang menyucikan hati dan jiwanya. Ashim ketika Berkata, “Aku tidak pernah mendengar Abu wail mencaci manusia atau binatang sama sekali.”
Az-Zabarqand menceritakan, “Suatu ketika aku bersama Abu wail. Lalu aki mencaci al-Hajjaj dan menyebut-nyebut keberukannya. Abu Wail berkata, “Jangan mencaci, Siapa tahu dia berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku.’ Maka, Allah mengampuninya.”
Ini keutamaan yang diberikan Allah untuk menjaga lisan seseorang dari kalimat sia-sia. Barang siapa yang menjaga lisannya dari kata-kata yang sia-sia, maka ia akan bisa menjaga jiwanya.
Abu Wail juga dikenal sangat wara’ dan berhati-hati menerima pemberian. Hal ini tercermin dari ungkapannya pada seorang budaknya, “Kalau Yahya –anaknya- datang membawa sesuatu, janganlah diterima. Kalau para sahabatku datang, maka terimalah.”
Abu Wail juga sangat menjaga dirinya untuk tidak terlibat pada pekerjaan pemerintah. Ini nampak ketika seorang pria datang dan berkata, “Anakmu dipekerjakan dipasar.” Abu Wail berkata, “Demi Allah! Seandainya engkau datang membewa berita kematiannya itu lebih kusukai. Sungguh aku sangat membenci masuknya hasil pekerjaan mereka ke rumahku.”
Namun demikian, tetap saja ia mendapat ujian sebagaimana ulama dan ahli ilmu yang lainnya. Suatu ketika dia diminta datang untuk menemui al-Hajjaj bin Yusuf. Ketika bertemu, al-Hajjaj segera bertanya, “Siapa namamu?”
“tidak mungkin seorang amir memenggilku kala dia tidak tahu namaku,” jawab Abu Wail.
“Kapan engkau tinggal di negeri ini?”
“Pada malam-malam penduduknya menetap.”
“Apa yang engkau baca dari al-Qur’an?”
“Aku membaca dari al-Qur’an yang kalau kuikuti, akan mecukupiku.”
“Kami ingin menugaskanmu pada sebagian pekerjaan kami.”
“Pekerjaan apa?”
“silsilah!”
“Silsilah tidak pantas kecuali bagi mereka yang melakukannya. Kalau engku minta bantuanku, maka engkau minta tolong pada syaikh yang lemah. Kalau amir memaafkanku, itu yang lebih aku cintai.” Abu Wail berhasil menghindar dari tawaran pemerintah.
Ia meninggal pada tahun 82 hijriyah *)
Sumber:dari Buku 101 Kisah Tabi’in
Dialah Abu Wail Syaqiq bin Salamah al-Asadi al-Kufi, imam besar Dan syaikh kota kufah. Dia lahir dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tak sempat bertemu dengan beliau. Menurut Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, Abu Wail lahir pada tahun pertama hijriyah.
Namun demikian Abu Wail sempat meraih kemilauan para sahabat Nabi. Tercatat, ia sempat bertemu dengan Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Aisyah, Ummu Salamah, dan lainnya.
Abu wail mencapai derajat orang-orang shalih. Dialah murid Abdullah bin Mas’ud. Setiap kali melihat Abu Wail, Abdullah bin Mas’ud selalu berseru, “Wahai orang yang bertaubat!”
Beginilah murid Ibnu Mas’ud menjadi pemimpin ahli ilmu dan amal. Kenapa tidak? Dia mengambil langsung ilmu dan amal dari orang yang yang lulus dari madrasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah orang-orang yang selalu menyertai Ibni Mas’ud, baik di malam hari, siang, di rumah, dalam perjalanan, di masjid dan dimana saja.
Perhatikanlah bagaimana Ibnu Mas’ud mendidik murid-muridnya. Suatu ketika, ia berpesan dengan Abu Wail yang sedang membawa mushaf berhias emas. Ibnu Mas’ud berkata “Sungguh yang paling baik untuk menghias al-Qur’an adalah membacanya dengan benar.”
Dalam tempaan inilah Abu Wail Tumbuh. Ibrahim an-Nakha’i pernah menasehati al-A’masy untuk selalu menyertai orang-orang shalih. “Sertailah Syaqiq. Sungguh aku mendapat murid Ibnu Mas’ud sebagai orang yang kaya ilmu. Mereka tergolong orang-orang pilihan,” ujar Ibrahim an-Nakha’i.
Betapa indahnya mendapatkan kesaksian dari seorang ahli fiqh Kufah seperti Ibrahim an-Nakha’i. Perhatikanlah kesaksian Ibrahim an-Nakha’i pada kesempatan lain. “Tidak ada sebuah desa kecuali di dalamnya ada orang yang membela penduduknya. Aku berharap Abu Wail termasuk diantara mereka.”
Posisi ini tidak didapat kecuali dengan usaha maksimim yang panjang melawan godaan hawa nafsu dan syetan serta berusaha untuk taat. Ashim menggabarka shalat dan keshalihan Abu Wail dalam ungkapannya, “Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga diselain shalat.”
Ashim pernah mendengar Abu Wail berdoa saat sujud. Diantara doanya adalah, “Tuhan, ampunilah aku! Tuhan maafkanlah aku! Jika engkau memaafkanku, maka panjangkanlah keutamaanmu. Jika engkau mengazabku, bukan oleh orang yang zalim padaku.”
Ashim berkata, “Kemudian ia menangis sampai kedengaran dari luar masjid.”
Abu Wail termasuk orang yang menyucikan hati dan jiwanya. Ashim ketika Berkata, “Aku tidak pernah mendengar Abu wail mencaci manusia atau binatang sama sekali.”
Az-Zabarqand menceritakan, “Suatu ketika aku bersama Abu wail. Lalu aki mencaci al-Hajjaj dan menyebut-nyebut keberukannya. Abu Wail berkata, “Jangan mencaci, Siapa tahu dia berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku.’ Maka, Allah mengampuninya.”
Ini keutamaan yang diberikan Allah untuk menjaga lisan seseorang dari kalimat sia-sia. Barang siapa yang menjaga lisannya dari kata-kata yang sia-sia, maka ia akan bisa menjaga jiwanya.
Abu Wail juga dikenal sangat wara’ dan berhati-hati menerima pemberian. Hal ini tercermin dari ungkapannya pada seorang budaknya, “Kalau Yahya –anaknya- datang membawa sesuatu, janganlah diterima. Kalau para sahabatku datang, maka terimalah.”
Abu Wail juga sangat menjaga dirinya untuk tidak terlibat pada pekerjaan pemerintah. Ini nampak ketika seorang pria datang dan berkata, “Anakmu dipekerjakan dipasar.” Abu Wail berkata, “Demi Allah! Seandainya engkau datang membewa berita kematiannya itu lebih kusukai. Sungguh aku sangat membenci masuknya hasil pekerjaan mereka ke rumahku.”
Namun demikian, tetap saja ia mendapat ujian sebagaimana ulama dan ahli ilmu yang lainnya. Suatu ketika dia diminta datang untuk menemui al-Hajjaj bin Yusuf. Ketika bertemu, al-Hajjaj segera bertanya, “Siapa namamu?”
“tidak mungkin seorang amir memenggilku kala dia tidak tahu namaku,” jawab Abu Wail.
“Kapan engkau tinggal di negeri ini?”
“Pada malam-malam penduduknya menetap.”
“Apa yang engkau baca dari al-Qur’an?”
“Aku membaca dari al-Qur’an yang kalau kuikuti, akan mecukupiku.”
“Kami ingin menugaskanmu pada sebagian pekerjaan kami.”
“Pekerjaan apa?”
“silsilah!”
“Silsilah tidak pantas kecuali bagi mereka yang melakukannya. Kalau engku minta bantuanku, maka engkau minta tolong pada syaikh yang lemah. Kalau amir memaafkanku, itu yang lebih aku cintai.” Abu Wail berhasil menghindar dari tawaran pemerintah.
Ia meninggal pada tahun 82 hijriyah *)
Sumber:dari Buku 101 Kisah Tabi’in
0 komentar:
Posting Komentar