10 Bersaudara Penghafal Al-Qur'an dari Indonesia

Setiap orang tua muslim pasti ingin memiliki anak-anak yang hafal Al-Qur'an dan berprestasi. Apalagi para kader dakwah yang sangat menyadari bahwa keluarga merupakan sasaran dakwah yang kedua; ishlahul usrah, setelah ishlahul fardi. Buku 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an ini merupakan sebuah karya yang –seperti kata Ustadz Yusuf Mansur- akan menginspirasi banyak keluarga di tanah air. Ternyata membesarkan anak di masa sekarang untuk menjadi hafiz Al-Qur'an bukan sesuatu yang mustahil.

Buku ini adalah kisah nyata sebuah keluarga muslim di Indonesia. Keluarga dakwah. Keluarga yang mampu menjadikan 10 orang buah hati mereka sebagai

Wanita Penghafal Al-Qur’an

Ia sudah menyelesaikan studinya di pondok Tahfidzul Qur'an. Di sebelah tangannya, ia membawa Kitabullah. Sementara di sebelah tangannya yang lain ia membawa kotak amal. Sebelum dan sesudahnya, ia memang sudah memendam cita-cita Islam, cita-cita saudara-saudaranya kaum muslimin.


Ia tidak membeli kotak amal itu untuk dimakannya sendiri. Ia membelinya agar ia sendiri bisa menginfakkan sebagian hartanya fi sabilillah. Agar ketika makan, ia bisa mengingat saudara-saudaranya kaum muslimin di berbagai belahan dunia dan memikirkan cara menolong mereka dari kesengsaraan akibat rasa lapar dan sakit. Agar Allah berkenan menjadikan benda itu sebagai saksi baginya di Hari Kiamat nanti.
Namun kali ini ia keluar dari pondok penuh berkah ini untuk menyerahkan dirinya disambut Yang Memberi segala karunia. Ia dipilih oleh Allah untuk berpulang ke hadiratnya. Kamipun mengira demikian, dan kami tidak berniat menganggap suci seseorang di hadapan Allah. Tiba-tiba sebuah mobil yang dikendarai oleh supir nekat menghantam tubuh yang suci itu sehingga tubuhnya terpental di atas tanah. Mushaf Al-Qur'an di tangan kanannya terjatuh sementara kotak amal di tangan kirinya juga berlumuran isinya. Memang jantungnya masih berdetak, tanda ia masih hidup.
Ia segera dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Saat itu adalah hari Ahad. Pada hari Jum'at, nyawanya berpulang ke rahmatullah.
Semoga Allah memberikan rahmatnya kepada sang penghafal Al-Qur'an. Ia tidak sedang membawa kaset porno atau majalah cabul. Ia juga tidak sedang keluar ke night club, diskotik atau pasar di mana ia berdesak-desakan dalam keadaan membuka wajah dan berdandan bebas. Ia baru saja keluar dari Taman Al-Qur'an.
Wahai wanita penghafal Al-Quran. Selamat, terimalah kabar gembira dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam,
"Dari Abdullah bin Amru radhiallahu anhu diriwayatkan bahwa ia menceritakan: Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Setiap muslim yang meninggal di hari Jumat atau malam jumat, pasti akan dipeliharan oleh Allah dari siksa kubur."
(Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad nomor 6582 dan Attirmidzi dalam kitab Al-Janaiz bab: Orang yang meninggal di hari Jumat)
Tidurlah dengan tenang dan tentram, wahai saudariku.
Diambil dari: Serambi Kematian, Kumpulan Kisah-kisah Sakratul Maut dan Beberapa Nasihat Tentang Kematian, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Musnid, Daarul Iman

Kisah seorang pemuda dan bidadari bermata jeli

Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majelis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada seorang laki-laki membaca ayat, (artinya) ‘Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.’ (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.”
Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku memperoleh Surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Nampaknya aku memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”
Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata jeli.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata jeli itu.” Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan terus!’
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahaiwaliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju ke depan.’
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata jeli, suamimu datang!’
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari bermata jeli itu.”
Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat jenazahnya aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum yang mengantarkan pada akhir hidupnya.”
Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, Penerbit Darul Haq
(Muslimahzone.com)

ABDUR-RAHMAN BIN MULJAM, POTRET BURAM SEORANG KORBAN PEMIKIRAN KHAWARIJ

Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan.

Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri 'Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jama'atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn 'Ali bin Abi Thâlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SIAPAKAH 'ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap 'Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, 'Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.

Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah 'Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah 'Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, 'Amr bin al-'Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri.

Dalam surat balasannya, 'Umar menulis: "Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, 'Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat".

Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh 'âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.[1]

MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP 'ALI BIN ABI THÂLIB [2]
Inilah salah satu keanehan 'Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij - 'Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin 'Abdillah at-Tamîmi dan 'Amr bin Bakr at-Tamîmi - mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang 'Ali Radhiyallahu 'anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.

Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: "Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?"

Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu 'Ali bin Abi Thâlib, Mu'awiyyah dan 'Amr bin al 'Âsh Radhiyallahu 'anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.

Rencana 'Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.

Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati 'Abdur-Rahmân bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin 'Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.

Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya,"Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh 'Ali". Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.

Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja'i. Katanya,"Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?"

Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, 'Ali Radhiyallahu 'anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
.
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan 'Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah 'Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.

Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan 'Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu 'Ali, Mu'awiyyah, dan Amr bin al-'Âsh Radhiyallahu 'anhum.

Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin 'Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai 'Ali Radhiyallahu 'anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis 'Ali Radhiyallahu 'anhu, ia berseru: "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai 'Ali)," lantas ia membaca ayat :

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya". [al Baqarah/2:207].[4]

Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.

AKHIR KEHIDUPAN 'ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM
Ketika Amirul-Mu`minin 'Ali bin Thâlib Radhiyallahu 'anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: "Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu'minin 'Ali Radhiyallahu 'anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita".[5]

Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, 'Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari 'Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya'ir sebagai pujian yang ditujukan kepada 'Abdur-Rahmân bin Muljam:

Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik 'Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.[6]

Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na'ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan "ruh ilâhi" dari tanah.[7]

BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.

2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar'i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.[8]

3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a'lam

[http://almanhaj.or.id/content/2680/slash/0]

_______
Footnote
[1]. Nukilan dari Al Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, 'Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al 'Uraini, Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I, Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah 'Ali bin Abi Thâlib, Mu'awiyyah dan 'Amr bin al-'Âsh Radhiyallahu 'anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I'tidâl, Abu 'Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma'rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq, 'Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-'Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7]. Al-Mausû'atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu'âshirah, Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-'Imân wa Nuqshânihi, Prof Dr. 'Abdur-Razzâq al-'Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun 2003M, hlm. 62.

Ciri-Ciri Ulama Ahlusunnah

 

Siapa yang dinamakan Ulama?

Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)


Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini.

Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim). Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah. Dia berfirman:
إِنَّماَ يَخْشَى اللهَ مِنْ عِباَدِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)

Ciri-ciri Ulama

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.

Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang tidak pantas untuk menyandangnya.
a. Sebagian kaum muslimin ada yang meremehkan hak-hak ulama. Di sisi mereka, yang dinamakan ulama adalah orang yang pandai bersilat lidah dan memperindah perkataannya dengan cerita-cerita, syair-syair, atau ilmu-ilmu pelembut hati.
b. Sebagian kaum muslimin menganggap ulama itu adalah orang yang mengerti realita hidup dan yang mendalaminya, orang-orang yang berani menentang pemerintah -meski tanpa petunjuk ilmu.
c. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah kutu buku, meskipun tidak memahami apa yang dikandungnya sebagaimana yang dipahami generasi salaf.
d. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan mendakwahi manusia. Mereka mengatakan kita tidak butuh kepada kitab-kitab, kita butuh kepada da’i dan dakwah.
e. Sebagian muslimin tidak bisa membedakan antara orang alim dengan pendongeng dan juru nasehat, serta antara penuntut ilmu dan ulama. Di sisi mereka, para pendongeng itu adalah ulama tempat bertanya dan menimba ilmu.

Diantara ciri-ciri ulama adalah:
1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)

2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”

3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”

4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)

5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)

7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعاً
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]

Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. Semua ini membeberkan hakikat ulama ahlul bid’ah yang mana mereka bukan sebagai penyandang gelar ini. Dari Al-Quran dan As-Sunnah mereka jauh dan dari manhaj salaf mereka keluar.

Contoh-contoh Ulama Rabbani

Pembahasan ini bukan membatasi mereka akan tetapi sebagai permisalan hidup ulama walau mereka telah menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka hidup dengan jasa-jasa mereka terhadap Islam dan muslimin dan mereka hidup dengan karya-karya peninggalan mereka. Sebagai berikut :
1. Generasi shahabat yang langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
2. Generasi tabiin dan diantara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).
3. Generasi atba’ at-tabi’in dan diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).
4. Generasi setelah mereka, diantara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).
5. Murid-murid mereka, diantara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).
6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).
7. Generasi setelah mereka, diantaranya Ibnu Jarir (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad-Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).
8. Generasi setelah mereka, diantaranya adalah Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnu Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
9. Contoh ulama di masa ini adalah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita. Berikutnya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Asy-Syaikh Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. (Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama

manfaat mendaki Gunung

Mengukur Sifat Dan Watak

Mendaki gunung juga bisa untuk menilai sifat dan watak kita reka-rekan kita atau anggota kelompok kita. Sifat dan watak tiap orang sudah jelas berbeda. Coba kita mendaki bersama-sama disitu akan kelihatan tipe pemarah, penyabar, egois, sembrono, siapa yang punya sial atau rasa setia akan nampak. Biasanya tidak disadari oleh tiap individu, kalau watak dan sifatnya sedang ditonjolkan . Dalam perjalanan biasanya satu dua kilometer masih bersama-sama, tapi lambat laun akan muncul pribadi-pribadi lain. Disini kita harus menyadari bahwa manusia mempunyai kekurangan dan kelemahan tidak perlu sok bila tidak kuat bantu dong yang lemah dan bila kita lebih bantu yang kurang, sehingga kelompok kita akan tetap kokoh


Wisata

Setelah sekian lama kita peras untuk berfikir dan bekerja di suasana keramaian kota, bising dan penuh polusi, nah kenapa tidak kita dekatkan dengan alam. Kita bisa berolah raga sambil berwisata mendaki gunung yang mempunyai panorama yang asli alami.
Melatih Fisik Dan Mental

Kita sering berlatih fisik dan mental melalui cabang-cabang olah raga. Mungkin juga kita pernah bertanding atau berlomba dan kita ditonton, disoraki dan di dukung. Tapi beda dengan melatih fisik dan mental melalui olah raga mendaki gunung. Sambil berjalan menikmati pemandangan dan hawa yang sejuk, kita ukur ketahanan fisik kita
Sekarang oleh alam kita ditonton dan soraki oleh pohon dan semak yang bergoyang. Seringkali jalanan turun kemudian naik, lurus turun berbelok-belok hingga fisik semakin melemah. Kalau sudah mengeluh disitulah biasanya mental menurun. Itulah ujian fisik dan mental bertarung dengan alam. Dengan sering jalan-jalan naik gunung mental dan fisik kita jadi terlatih.
Pijat Refleksi
Dengan mendaki gunung tanpa disadari bahwa tapak kaki kita terpijat secara refleksi, pijat refleksi adalah pengobatan alternatif yang ampuh dan aman, praktis serta murah tanpa efek samping, selain mencegah dan menyembuhkan penyakit seperti ginjal, paru-paru, atau jantung bahkan seluruh tubuh.

Mensyukuri Kebesaran Tuhan

Tuhan menciptakan segala apa yang ada didunia ini bagi kepentingan umatNya, maka kita wajib mensyukuri dan menikmatinya. Untuk melihat kebesaran Tuhan dan merasa dekat dengan NYa, berdirilah dipuncak gunung. Kita akan melihat hamparan panorama yang begitu indah. Dengan demikian kita selalu merawat dan memelihara ciptaan Tuhan ini demi keperluan kita sampai anak cucu kelak.